Skenario: Pilek menahun
Seorang laki-laki berumur 15 tahun datang ke puskesmas dengan riwayat menderita pilek selama kira-kira satu tahun. Kadang-kadang pilek ini disertai lendir pada tenggorokan yang dirasakan berasal dari belakang hidung. Pada waktu kecil ia sering menderita sesak napas.
Keyword :
1. Laki-laki 15 tahun
2. Pilek kurang lebih satu tahun
3. Riwayat sesak napas waktu kecil
4. Lendir di tenggorokan yang berasal dari belakang hidung
Pertanyaan–pertanyaan penting
1. Apa yang dimaksud dengan pilek ?
2. Apa penyebab timbulnya pilek dan mekanismenya ?
3. Bagaimana anatomi hidung dan tenggorokan ?
4. Penyakit apa saja yang berhubungan dengan gejala pada kasus di atas (pilek) ?
5. Bagaimana pengaruh jenis kelamin dan usia ?
6. Apakah penyakit ini termasuk alergi atau infeksi, tipe berapa dan bagaimana mekanismenya ?
7. Apakah hubungan sesak napas dengan rinitis ?
8. Bagaimana penatalaksanaan kasus ini ?
Jawaban pertanyaan
1. Definisi pilek:
Pilek dalam istilah kedokteran dikenal sebagai rhinorea. Rhinorea adalah pengeluaran bebar berupa cairan dari hidung.
Etiologi rhinorea:
- infeksi virus dan bakteri pada saluran napas bagian atas.
- herediter (keturunan)
- Lingkungan: perubahan cuaca dan kelembaban
- penggunaan obat yang berlebihan
- alergen: bulu binatang, pollen, debu, dll
- psikis
4. Diferensial diagnosis yang kami sepakati antara lain:
a. Rinitis alergi (diagnosis utama)
Berdasarkan sifat berlangsungnya, rinitis alergi terbagi atas 2 jenis, yaitu rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, pollinosis) yang hanya terdapat di negara yang memiliki 4 musim dan rinitis alergi sepanjang tahun (perenial). Alergen penyebab rinitis alergi musiman bersifat spesifik, yaitu tepung sari dan spora jamur. Gejala keduanya hampir sama, hanya sifat berlangsungnya saja yang berbeda. Oleh karena gejala di skenario cenderung mengarah ke rinitis alergi perenial maka pembahasan rinitis alergi difokuskan pada rinitis alergi perenial. Rinitis alergi perenial adalah penyakit/kelainan yang merupakan manifestasi klinis reaksi hipersensitivitas tipe I dengan mukosa hidung sebagai organ sasaran. Gejala rinitis alergi perenial timbul terus-menerus atau intermiten. Meskipun lebih ringan dibandingkan rinitis musiman, tapi karena lebih persisten, komplikasinya lebih sering ditemukan. Dapat timbul pada semua golongan umur, terutama anak dan dewasa muda, namun berkurang dengan bertambahnya umur. Faktor herediter berperan, sedangkan jenis kelamin, golongan etnis dan ras tidak berpengaruh.
Penyebab tersering adalah alergen inhalan (dewasa) dan ingestan (anak-anak). Pada anak-anak sering disertai gejala lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan. Diperberat oleh faktor nonspesifik, seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca, dan kelembaban yang tinggi. Pada reaksi alergi ini dilepaskan berbagai zat mediator dengan histamin sebagai zat mediator utama yang menyebabkan efek dilatasi pembuluh darah, peningkatan permeabilitas kapiler, iritasi ujung-ujung saraf sensoris, dan aktivasi sel-sel kelenjar sehingga sekret diproduksi lebih banyak.
Gejala klinisnya antara lain: serangan bersin berulang lebih dari lima kali dalam satu serangan, rinorea yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, kadang disertai lakrimasi, tidak ada demam. Bila penyakit berlangsung lama (> 2 tahun) timbul bayangan gelap di daerah bawah mata (allergic shiner) akibat stasis vena sekunder karena obstruksi hidung, allergic salute hingga allergic crease (garis melintang di dorsum nasi sepertiga bawah. Kadang disertai pula penyakit alergi lainnya seperti asma, urtikaria, atau eksim. Pada rinoskopi anterior didapatkan mukosa edema, basah, pucat atau livid, disertai banyak sekret encer. Di luar serangan, mukosa normal kembali, kecuali bila telah berlangsung lama.
b. Rinitis infeksi
Rinitis infeksi sering pula disebut sebagai rinitis akut, selesma, atau common cold. Rinitis infeksi disebabkan oleh infeksi virus dan kadang disertai infeksi sekunder oleh bakteri. Penyakit ini sangat mudah menular dan biasanya menyerang orang dengan daya tahan tubuh yang menurun karena lelah, stress atau menderita penyakit lain dan sering timbul bersama radang tenggorok. Gejala prodormal berlangsung beberapa jam berupa hidung pernapasannya terasa panas, kering dan gatal. Gejala awal berlangsung selama 1-2 hari berupa keluar ingus cair, bersin-bersin, dan hidung tersumbat disertai demam, sakit kepala dan sakit tenggorok disertai batuk. Bila terjadi infeksi sekunder oleh bakteri ingus menjadi kental dan berwarna kuning. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak mukosa konka edema dan hiperemis disertai adanya sekret yang banyak, dapat cair dan jernih atau mukoid atau mukopurulen. Penyakit ini dapat sembuh dalam waktu 5-10 hari. Terapi yang penting ialah istirahat dan pengobatan simtomatik berupa analgetika, dekongestan oral atau topikal. Antihistamin dapat diberikan pada masa awal pada saat keluar ingus cair yang deras.
c. Rinitis vasomotor
Rinitis vasomotor adalah gangguan fisiologik mukosa hidung karena adanya gangguan keseimbangan susunan saraf otonom sehingga terjadi peningkatan aktifitas saraf parasimpatis. Rinitis vasomotor biasa juga disebut vasomotor catarrh, vasomotor rhinorrhea, nasal vasomotor instability, atau nonspecific allergic rinitis. Faktor-faktor yang yang dapat mempengaruhi keseimbangan vasomotor adalah stimulus nonspesifik, antara lain:
õ Faktor fisik:
- perubahan udara dan kelembaban yang drastis,
- udara dingin,
- kelembaban yang tinggi,
- iritas asap rokok,
- minuman beralkohol,
- bau yang merangsang, seperti parfum
- polusi udara,
- latihan jasmani.
õ Faktor psikis: cemas, sedih, stress, dan lain-lain.
õ Obat-obatan yang menekan atau menghambat kerja saraf simpatis, seperti ergotamine, chlorpromazine, obat anti hipertensi, dan obat vasokonstriksi topikal.
õ Faktor hormonal atau endokrimn, seperti kehamilan, pubertas, pemakaian pil anti hamil, dan hipotiroidisme.
Rangsangan pada saraf simpatis menyebabkan peningkatan konsentrasi asetilkolin yang mengakibatkan dilatasi pembuluh darah dalam konka serta peningkatan permeabilitas kapiler sehingga menimbulkan edema, sumbatan, dan hipersekresi kelenjar mukus. Sedangkan rangsangan pada saraf simpatis menyebabkan efek sebaliknya. Gejala klinisnya antara lain: hidung tersumbat atau kongesti nasal persisten, bergantian kiri dan kanan, tergantung pada posisi pasien; rhinorea yang mukus atau serosa, kadang agak banyak. Keluhan hidung tersumbat lebih jelas pada saat berbaring, bergantian pada satu sisi dipengaruhi oleh gaya berat.gejala memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur karena perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab, juga karena asap rokok dan sebagai-nya. Berdasarkan gejala yang menonjol, dibedakan atas golongan obsruksi dan rinorea.
d. Rinitis medikamentosa
Rinitis medikamentosa adalah kelainan fungsi hidung yang disebabkan oleh pemakaian obat-obatan dalam jangka waktu lama, sehingga menimbulkan gangguan keseimbangan vasomotor. Obat yang sering menimbulkan gangguan ini ialah obat tetes hidung vasokonstriktor. Juga dapat ditimbulkan oleh obat-obat sistemis yang bersifat antagonis adreno-reseptor alfa seperti antihipertensi dan psikosedatif. Selain itu aspirin, derivate ergo, pil kontrasepsi dan anticholinesterase juga dapat menyebabkan gangguan hidung. Pemakaian obat tetes hidung akan menyebabkan vasokonstriksi sehingga keluhan sumbatan hidung akan hilang. Tetapi bila dipakai berulang-ulang dalam jangka waktu yang lama akan terjadi vasodilatasi setelah vasokonstriksi sehingga menyebabkan obstruksi yang lebih berat. Makin lama efek vasokonstriksi akan berkurang dan akan terjadi juga gangguan aktivitas silia. Oleh karena itu pemakaian tetes hidung vasokon-striktor harus dibatasi, tidak boleh terlalu lama. Gejala yang biasa diperlihatkan adalah hidung tersumbat terus-menerus. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak edema konka yang tidak mengecil dengan aplikasi kapas adrenalin. Kadang-kadang juga disertai hipersekresi.
e. Sinusitis
Sinusitis adalah radang sinus paranasal yang gejalanya pada sebagian besar penderita bersamaan dengan gejala rinitis. Bila terjadi pada beberapa sinus disebut multisinus, sedangkan bila mengenai seluruhnya disebut pansinusitis. Yang paling sering terkena adalah sinus maksila kemudian etmoid, frontal, dan sphenoid. Hal ini disebabkan sinus maksila adalah sinus terbesar, letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar, dasarnya adalah dasar akar gigi shingga dapat berasal dari infeksi gigi, dan ostiumnya terletak di medius, di sekitar hiatus semilunaris yang sempit sehingga sering tersumbat. Seperti juga pada hidung, sinus paranasal dilapisi oleh mukosa torak berlapis semu bersilia dengan di antaranya terdapat sel-sel gpblet dan pada permukaannya selalu diliputi oleh palut lendir. Silia dan plut lender ini merupakan sistem proteksi hidung dan sinus paranasal yang disebut sistem mukosiliar. Silia akan selalu bergerak dengan teratur mengeluarkan lender untuk dibuang, dari hidung ke arah posterior dan dari sinus-sinus menuju ostiumnya. Aliran dari sinus kelompok anterior yaitu sinus maksila, sinus frontal, dan sinus etmoid posterior akan bergabung di infundibulum etmoid yang merupakan bagian dari kompleks ostio-meatal (KOM) untuk dialirkan ke nasofaring. Aliran dari kelompok posterior yaitu dari sinus etmoid posterior dan sinus sphenoid bergabung di resesus sfenoetmoidalis kemudian dialirkan ke nasofaring. Bila terjadi pembengkakan atau sumbatan di KOM maka gerak silia dan ventilasi sinus akan terganggu sehingga menyebabkan drainase dari dalam sinus menjadi terhambat. Retensi sekret di dalam sinus akan menjadi media yang baik untuk tumbuhnya kuman patogen penyebab sinusitis.
Menurut Adams, bedasarkan perjalanan penyakitnya sinusitis terbagi ke dalam 3 kelas, yaitu:
õ Sinusitis akut
Pada sinusitis akut terdapat tanda-tanda radang akut. Penyebabnya dapat berupa virus atau bakteri, yang paling sering adalah Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae yang ditemukan pada 70% kasus. Sinusitis akut berlangsung dari beberapa hari hingga 4 minggu. Dari hidung keluar ingus yang kental dan berwarna kuning yang sering terasa turun ke tenggorok. Gejala awalnya adalah infeksi saluran pernapasan atas (terutama pada anak kecil), berupa pilek dan batuk yang lama, lebih dari 7 hari. Gejala sistemiknya adalah demam dan rasa lesu, sedangkan gejala lokal berupa hidung tersumbat, ingus kental yang kadang berbau dan mengalir ke nasofaring (post nasal drip), halitosis, sakit kepala yang lebih berat pada pagi hari, rasa nyeri di daerah sinus yang sakit (di pipi, pangkal hidung, belakang mata), dan nyeri saraf/nyeri alih dan ada nyeri tekan di atas sinus.
õ Sinusitis subakut
Sama dengan sinusitis akut, hanya tanda akut sudah reda dan perubahan histologik mukosa sinus masih reversible. Sinusitis subakut berlangsung dari 4 minggu- 3 bulan. Pada rinoskopi anterior tampak sekret purulen di meatus medius atau superior dan di nasofaring.
õ Sinusitis kronik
Sinusitis kronik menunjukkan perubahan mukosa sinus yang ireversibel, misalnya menjadi jaringan granulasi atau poliploid. Umumnya sukar disembuhkan dengan terapi medikamentosa saja. Harus dicari faktor penyebab dan predisposisinya. Penyebab terjadinya sinusitis kronik antara lain bahan kimia, alergi, dan defisiensi imunologik yang dapat menyebabkan kerusakan silia sehingga terjadi perubahan mukosa hidung. Perubahan ini mempermudah terjadinya infeksi. Terdapat edema konka yang mengg-anggu drainase sekret, sehingga silia rusak, dan seterusnya. Jika pengobatan pada sinusitis akut tidak adekuat, maka akan terjadi sinusitis kronik. Gejala subyektif bervariasi dari ringan sampai berat, seperti:
- gejala hidung dan nasofaring: sekret di hidung dan nasofaring (post nasal drip). Jika sekret ini berada terus-menerus akan menyebabkan batuk kronik.
- gejala faring: rasa tidak nyaman di tenggorok.
- gejala telinga: gangguan pendengaran akibat sumbatan tuba Eustachius.
- nyeri kepala, biasanya pada pagi hari dan berkurang di siang hari. Mungkin akibat penimbunan ingus dalam rongga hidung dan sinus, serta stasis vena pada malam hari.
- gejala mata: akibat penjalaran infeksi melalui duktus nasolakrimalis.
- gejala saluran napas: batuk dan kadang komplikasi di paru.
- gejala saluran cerna: gastroenteritis akibat mukopus yang tertelan.
f. Polip hidung
Polip hidung adalah massa lunak, berwarna putih atau keabu-abuan yang terdapat dalam rongga hidung. Paling sering berasal dari sinus etmoid, multipel, dan bilateral. Penyakit ini biasanya terjadi pada orang dewasa, sedangkan pada anak mungkin merupakan gejala kistik fibrosis. Polip hidung terjadi akibat reaksi alergi pada mukosa hidung dan pemsicunya berupa alergen, sinusitis kronik, iritasi, sumbatan hidung oleh kelainan anatomi seperti deviasi septum dan hipertrofi konka. Pada penderita polip hidung terjadi pembengkakan pada mukosa hidung yang berisi banyak cairan interselular dan sel radang, kemudian terdorong ke dalam rongga hidung oleh gaya berat. Gejala klinisnya berupa bersin dan iritasi di hidung (gejala utama), sumbatan hidung yang menetap dan semakin lama semakin berat, rinorea, dapat terjadi hiposmia atau anosmia, bila menyumbat ostium dapat terjadi sinusitis dengan ingus purulen. Pada pemeriksaan klinis tampak massa putih keabu-abuan atau kuning kemerahan dalam kavum nasi. Polip bertangkai sehingga mudak digerakkan, konsistensinya lunak, tidak nyeri bila ditekan, tidak mudah berdarah, dan tidak mengecil pada pemakaian vasokonstriktor.
5. Apakah penyakit tersebut ada hubungannya dengan gender dan umur?
Ada penyakit yang hanya mengenai pria saja, wanita saja, atau dapat mengenai kedua-duanya. Begitu pula dengan umur, sebab ada penyakit yang predileksinya pada bayi, anak-anak, remaja, atau dewasa. Namun, pada diagnosa utama yaitu rinitis alergi, hanya umur yang cukup berperan terhadap prevalensi penyakit ini, sedangkan gender tidak berpengaruh.
6. Mekanisme adanya lendir pada penderita rhinitis alergi adalah sebagai berikut:
Rongga hidung memiliki sistem pertahanan dalam melawan setiap antigen atau benda asing yang masuk, di antaranya adalah:
a. Spesifik Neutralizing Antibodies, bersifat spesifik dan dapat ditingkatkan dengan vaksinasi.
b. Adanya Vibriassae/silia pada rongga hidung sebagai penangkap/penjaring kotoran/ benda asing yang masuk.
c. Palut lendir (lisosim), saat terangsang akan mengeluarkan lendir yang berlebihan.
d. Interferon, merupakan protein dasar yang mempunyai efek antivirus nonspesifik (menghambat pertumbuhan virus, tetapi tidak menghancurkan).
Jadi, adanya lendir pada penderita rhinitis alergi merupakan salah satu bentuk sistem pertahanan tubuh.
7. Hubungan sesak napas (dalam kasus ini sesak napas diidentikkan dengan asma) dengan rinitis dapat dijelaskan sebagai berikut:
Mukosa nasal dan mukosa bronkus memiliki banyak kesamaan. Studi-studi epidemiologi secara konsisten menunjukkan bahwa sesak asma dan rhinitis sering ditemukan bersamaan pada penderita yang sama. Hampir semua penderita asma dan alergi dan asma non alergi menderita rhinitis. Banyak penderita rhinitis juga menderita asma. Rhinitis alergi berhubungan dan juga merupakan faltor resiko asma. Rhinitis alergi berhubungan dan juga merupakan faktor resiko asma. Banyak penderita rhinitis alergi mengalami peningkatan hiperaktivitas bronkus yang non spesifik. Studi patofisiologi menyokong adanya hubungan erat antara rhinitis dan asma. Meskipun ada perbedaan antara rhinitis dan asma, saluran napas atas dan bawah diduga dipengaruhi oleh suatu proses inflamasi yang serupa yang mungkin dapat menetap dan diperberat oleh mekanisme yang saling berhubungan ini.penyakit alergi dapat bersifat sistemik. Provokasi bronkial dapat menyebabkan inflamasi nasal dan provokasi nasal dapat menyebabkan inflamasi nasal.
DIAGNOSIS
Diagnosis rhinitis alergi ditegakkan berdasarkan :
- Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena seringkali tidak terjadi di hadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosa dapat ditegakkan dari anamnesis saja.
- Pemeriksaan rinoskopi anterior
Pada pemeriksaan anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai adanya sekret encer yang banyak.
- Pemeriksaan naso endoskopi
- Pemeriksaan sitologi hidung
Walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.
- Hitung eosinofil dalam darah tepi
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio immunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau pada anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik degan RAST (Radio Immnuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test).
- Uji kulit alergen penyebab dapat dicari secara in vivo
Ada beberapa cara, yaitu uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET), uji cukit (Prick Test) dan uji gores (Scratch Test). Kedalaman kulit yang dicapai pada kedua uji kulit (uji cukit dan uji gores), sama. SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapt diketahui. Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut di atas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu diberikan kepada pasien setelah berpantang selama lima hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan. Uji kulit untuk alergi makanan yang akhir-akhir ini banyak dilakukan adalah provocative neutralization test atau Intracutaneus Provocative Food Test (IPFT).
RHINITIS ALERGI
Definisi
Menurut Von Pirquet (1986), rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya telah tersensitasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulang dengan alergen spesifik tersebut.
Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, rhinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.
EPIDEMIOLOGI
Rhinitis alergi dapat timbul pada semua golongan umur, terutama anak dan dewasa muda, namun berkurang dengan bertambahnya umur. Faktor herediter berperan, sedangkan jenis kelamin, golongan etnis, dan ras tidak berpengaruh.
ETIOLOGI
Penyebab paling sering adalah alergen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan alergen ingestan, terutama pada anak-anak. Alergen inhalan utama adalah alergen inhalan dalam rumah (indoor) dan alergen di luar rumah (outdoor). Alergen inhalan dalam rumah terdapat di kasur kapuk, tutup tempat tidur, selimut, karpet, dapur, tumpukan baju dan buku-buku, serta sofa. Komponen alerginya terutama berasal dari serpihan kulit dan feses tungau D. Pteronyssinus, D. Farinae, dan Blomia tropicalis, kecoa, dan bulu binatang peliharaan (anjing, kucing, dan burung). Alergen inhalan di luar rumah berupa pollen dan jamur. Alergen ingestan sering merupakan pemicu rhinitis alergi pada anak-anak dan biasanya disertai dengan gejala lain sperti urtikaria dan gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik pada golongan perennial lebih ringan bila dibandingkan dengan golongan musiman, tetapi karena golongan perennial bersifat persisten maka komplikasinya lebih sering ditemukan. Dapat diperberat oleh faktor nonspesifik, seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca, dan kelembaban yang tinggi.
Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan satu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi yang diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reactin atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hipereaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di pemukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk kompleks peptida MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5 dan IL 13.
IL 4 dan IL 3 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4). Braikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL3, IL4, IL5, IL6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dll. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
Histamin akan meransang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga meniimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel Goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga menjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin meransang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan ransangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai di sini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFl ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor (GMCSF) dan ICAM 1 pada sekret hidung. Timblnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinofilic Cationic Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini selain faktor spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang meransang, perubahan cuaca dan kelembapan udara yang tinggi.
Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas:
1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya debu rumah, tungau, serpihan epitel dan bulu binatang serta jamur.
2. Alergen ingestan, yang masuknya ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, telur, coklat, ikan, udang.
3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin dan sengatan lebah.
4. Alergen kontaktan, ynag masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa misalnya bahan kosmetik, perhiasan.
Satu macam alergen dapat meransang lebih dari satu organ sasaran, sehingga memberi gejala campuran, misalnya debu rumah yang memberi gejala asma bronkial dan rinitis alergi. Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari:
1. Respons primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non-spesifik dan dapat berakhir sampai di sini. Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan reaksi berlanjut menjadi respons sekunder.
2. Respons sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3 kemungkinan ialah sistem imunitas selular atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada atau memang sudah ada defek dari sitem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respons tertier.
3. Respons tertier
Reaksi imunologik yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.
GEJALA KLINIK
Gejala klinik alergi yang khas adalah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebenarnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Bersin dianggap patologik apabila terjadi lebih dari lima kali dalam satu kali serangan. Gejala lain adalah terdapatnya ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata terasa gatal, yang kadang-kadang disertai pengeluaran air mata yang banyak (lakrimasi).
Gejala yang khas pada anak adalah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena statis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini dikenal sebagai allergic shiner. Selain itu terdapat pula allergic salute akibat kebiasaan anak yangs ering menggosok-gosok hidung dengan punggung tangan yang menyebabkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi sepertiga bawah (allergic crease). Sering disertai penyakit alergi lainnya seperti asma, utikaria, atau eksim.
Pada rinoskopi anterior didapatkan mukosa edema, basah, pucat atau livid, disertai banyak sekret encer. Di luar serangan, mukosa kembali normal, kecuali bila telah berlangsung lama.
Tidak ada demam dan sekret biasanya tidak mengental ataupun menjadi purulen. Awitan gejala timbul cepat setelah paparan allergen. Gejala penyerta seperti mual, bersendawa, kembung, diare, somnolen, atau insomnia, juga dapat memberi kesan uatu allergen yang ditelan. Pada pasien dengan rinitis alergi, sering terdapat riwayat alergi atau asma dalam keluarga. Seringkali gejala yang timbul tidak lengkap. Kadang-kadang hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.
DIAGNOSA BANDING
Rhinitis nonalergi, rhinitis infeksi, dan common cold.
KOMPLIKASI
Polip hidung, otitis, dan sinus paranasal.
DIAGNOSIS
Diagnosis rhinitis alergi ditegakkan berdasarkan :
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena seringkali tidak terjadi di hadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosa dapat ditegakkan dari anamnesis saja.
2. Pemeriksaan rinoskopi anterior
3. Pada pemeriksaan anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai adanya sekret encer yang banyak.
4. Pemeriksaan naso endoskopi
5. Pemeriksaan sitologi hidung
Walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.
6. Hitung eosinofil dalam darah tepi
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio immunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau pada anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik degan RAST (Radio Immnuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test).
7. Uji kulit alergen penyebab dapat dicari secara in vivo
Ada beberapa cara, yaitu uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET), uji cukit (Prick Test) dan uji gores (Scratch Test). Kedalaman kulit yang dicapai pada kedua uji kulit (uji cukit dan uji gores) sama. SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui. Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut di atas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu diberikan kepada pasien setelah berpantang selama lima hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan. Uji kulit untuk alergi makanan yang akhir-akhir ini banyak dilakukan adalah provocative neutralization test atau Intracutaneus Provocative Food Test (IPFT).
PENATALAKSANAAN
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan allergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.dapat dicapai dengan mengisolasi pasien dari allergen, menempatkan suatu sawar antara pasien dan allergen atau menjauhkanallergen dari pasien. selain itu, penderita rhinitis alergi seperti juga penderita alergi saluran napas lainnya sangat dianjurkan untuk berolah raga secara teratur karena akan mengurangi jumlah dan beratnya serangan alergi.
2. Simtomatis
a. medikamentosa
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1 yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target dan merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis alergi. pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral.
Antihistamin dibagi dalam dua golongan yaitu golongan antihistamin generasi -1 (klasik) dan generasi -2 (non sedative). Antihistamin generasi-1 membuat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta sera mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk dalam kelompok ini anatara lain adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin sedangkan yang dapat diberikan secara topical adalah azelastin. Antihistamin generasi-2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar darah otak. Bersifat selektif mengikat reseptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek antikolinergik, antiadrenergik dan efek pada SSP minimal (non sedative). Antihistamin diabsorsi secara oral dengan cepat dan mudah serta efektif untuk mengatasi gejala pada respon fase cepat seperti rinore, bersinh, gatal tetapi tidak efektif untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat. antihistamin non sedative dapat dibagi menjadi 2 golongan menurut keamanannya. Kelompok pertama astemisol dan terfenadin yang mempunyai efek kardioktoksik. Toksisitas terhadap jantung tersebut disebabkan repolarisasi jantung yang tertunda dan dapat menyebabkan aritma ventrikel, henti jantung dan bahkan kematian mendadak. Kelompok kedua adalah loratadin, setirisin, dan fexofenadin
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergic alfa dipakai sebagai dipangestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau topical. Namun pemakaian secara topical harus hemat hanya boleh untuk beberapa hari saja (jangka pendek 4-10 hari) untuk menghindari terjadinya rhinitis medikamentosa.
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat respons fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. yang sering dipakai adalah kortikosteroid topical (beklomentason, budesonid, flunisolid, flutikason, mometason furoad dan triamsinolon). Pemakaian peroral dengan pemberian intermitten atau tapering off hanya untuk kasus berat, diberikna 2 minggu sebelum pemberian topical agar pemberian topical efektif. Kortikosteroid topical bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksit dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit, mencegah bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak hiperresponsif terhadap rangsangan alergen ( bekerja pada respon fase lambat dan cepat). Preparat sodium kromoglikat topikal bekerja menstabilkan mastosit (mungkin menghambat ion kalsium) sehingga pelepasan mediator dihambat. Pada respon fase lambat, obat ini juga menghambat proses inflamsi dengan menghambat aktifasi sel netrofil, eosinofil dan monosit. Hasil terbaik dapat dicapai bila diberikan secara profilaksis.
Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromide, bermanfaat untuk mengatasi rinore karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor. Pengobatan baru lainnya untuk rhinitis alergi di masa yang akan datang adalah anti leukotrin, anti IgE, DNA rekombinan
b. Operatif
Tindakan konkotomi (pemotongan konkainferior) perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat
3. Imunoterapi
- Desensitisasi dan hiposensitisasi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan
- Netralisasi
Caranetralisasi dilakukan untuk alergi makanan. Pada netralisasi, tubu8h tidak membentuk “blocking antibody” seperti pada desensitasi.