Rabu, 01 Juni 2011

Gejala, tanda-tanda, dan komplikasi infeksi virus HIV-AIDS

Berbagai gejala ataupun tanda-tanda seseorang terjangkit atau terinfeksi AIDS umumnya tidak akan terjadi pada orang-orang yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang baik. Kebanyakan kondisi tersebut akibat infeksi oleh bakteri, virus, fungi dan parasit, yang biasanya dikendalikan oleh unsur-unsur sistem kekebalan tubuh yang dirusak HIV. Infeksi oportunistik umum didapati pada penderita AIDS.HIV mempengaruhi hampir semua organ tubuh. Penderita AIDS juga beresiko lebih besar menderita kanker seperti sarkoma Kaposi, kanker leher rahim, dan kanker sistem kekebalan yang disebut limfoma.

Biasanya penderita AIDS memiliki gejala infeksi sistemik,seperti demam, berkeringat (terutama pada malam hari), pembengkakan kelenjar, kedinginan, merasa lemah, serta penurunan berat badan.Infeksi oportunistik tertentu yang diderita pasien AIDS, juga tergantung pada tingkat kekerapan terjadinya infeksi tersebut di wilayah geografis tempat hidup pasien.
- Penyakit paru-paru utama
Pneumonia pneumocystis (PCP) jarang dijumpai pada orang sehat yang memiliki kekebalan tubuh yang baik, tetapi umumnya dijumpai pada orang yang terinfeksi HIV.

Penyebab penyakit ini adalah fungi/jamur Pneumocystis jirovecii. Sebelum adanya diagnosis, perawatan, dan tindakan pencegahan rutin yang efektif di negara-negara Barat, penyakit ini umumnya segera menyebabkan kematian. Di negara-negara berkembang, penyakit ini masih merupakan indikasi pertama AIDS pada orang-orang yang belum dites, walaupun umumnya indikasi tersebut tidak muncul kecuali jika jumlah CD4 kurang dari 200 per µL.

Tuberkulosis (TBC) merupakan infeksi unik di antara infeksi-infeksi lainnya yang terkait HIV, karena dapat ditularkan kepada orang yang sehat (imunokompeten) melalui rute pernapasan (respirasi). Ia dapat dengan mudah ditangani bila telah diidentifikasi, dapat muncul pada stadium awal HIV, serta dapat dicegah melalui terapi pengobatan. Namun demikian, resistensi TBC terhadap berbagai obat merupakan masalah potensial pada penyakit .

Meskipun munculnya penyakit ini di negara-negara Barat telah berkurang karena digunakannya terapi dengan pengamatan langsung dan metode terbaru lainnya, namun tidaklah demikian yang terjadi di negara-negara berkembang tempat HIV paling banyak ditemukan. Pada stadium awal infeksi HIV (jumlah CD4 >300 sel per µL), TBC muncul sebagai penyakit paru-paru. Pada stadium lanjut infeksi HIV, ia sering muncul sebagai penyakit sistemik yang menyerang bagian tubuh lainnya (tuberkulosis ekstrapulmoner). Gejala-gejalanya biasanya bersifat tidak spesifik (konstitusional) dan tidak terbatasi pada satu tempat.TBC yang menyertai infeksi HIV sering menyerang sumsum tulang, tulang, saluran kemih dan saluran pencernaan, hati, kelenjar getah bening (nodus limfa regional), dan sistem syaraf pusat.Dengan demikian, gejala yang muncul mungkin lebih berkaitan dengan tempat munculnya penyakit ekstrapulmoner.


- Penyakit saluran pencernaan utama
Esofagitis adalah peradangan pada kerongkongan (esofagus), yaitu jalur makanan dari mulut ke lambung. Pada individu yang terinfeksi HIV, penyakit ini terjadi karena infeksi jamur (jamur kandidiasis) atau virus (herpes simpleks-1 atau virus sitomegalo). Ia pun dapat disebabkan oleh mikobakteria, meskipun kasusnya langka.

Diare kronis yang tidak dapat dijelaskan pada infeksi HIV dapat terjadi karena berbagai penyebab, antara lain infeksi bakteri dan parasit yang umum (seperti Salmonella, Shigella, Listeria, Kampilobakter, dan Escherichia coli), serta infeksi oportunistik yang tidak umum dan virus (seperti kriptosporidiosis, mikrosporidiosis, Mycobacterium avium complex, dan virus sitomegalo (CMV) yang merupakan penyebab kolitis).

Pada beberapa kasus, diare terjadi sebagai efek samping dari obat-obatan yang digunakan untuk menangani HIV, atau efek samping dari infeksi utama (primer) dari HIV itu sendiri. Selain itu, diare dapat juga merupakan efek samping dari antibiotik yang digunakan untuk menangani bakteri diare (misalnya pada Clostridium difficile). Pada stadium akhir infeksi HIV, diare diperkirakan merupakan petunjuk terjadinya perubahan cara saluran pencernaan menyerap nutrisi, serta mungkin merupakan komponen penting dalam sistem pembuangan yang berhubungan dengan HIV.
- Penyakit syaraf dan kejiwaan utama
Infeksi HIV dapat menimbulkan beragam kelainan tingkah laku karena gangguan pada syaraf (neuropsychiatric sequelae), yang disebabkan oleh infeksi organisma atas sistem syaraf yang telah menjadi rentan, atau sebagai akibat langsung dari penyakit itu sendiri.

~ Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit bersel-satu, yang disebut Toxoplasma gondii. Parasit ini biasanya menginfeksi otak dan menyebabkan radang otak akut (toksoplasma ensefalitis), namun ia juga dapat menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada mata dan paru-paru.

~ Meningitis kriptokokal adalah infeksi meninges (membran yang menutupi otak dan sumsum tulang belakang) oleh jamur Cryptococcus neoformans. Hal ini dapat menyebabkan demam, sakit kepala, lelah, mual, dan muntah. Pasien juga mungkin mengalami sawan dan kebingungan, yang jika tidak ditangani dapat mematikan.

~ Leukoensefalopati multifokal progresif adalah penyakit demielinasi, yaitu penyakit yang menghancurkan selubung syaraf (mielin) yang menutupi serabut sel syaraf (akson), sehingga merusak penghantaran impuls syaraf. Ia disebabkan oleh virus JC, yang 70% populasinya terdapat di tubuh manusia dalam kondisi laten, dan menyebabkan penyakit hanya ketika sistem kekebalan sangat lemah, sebagaimana yang terjadi pada pasien AIDS. Penyakit ini berkembang cepat (progresif) dan menyebar (multilokal), sehingga biasanya menyebabkan kematian dalam waktu sebulan setelah diagnosis.


- Kanker dan tumor ganas (malignan)
Sarkoma Kaposi. Pasien dengan infeksi HIV pada dasarnya memiliki resiko yang lebih tinggi terhadap terjadinya beberapa kanker. Hal ini karena infeksi oleh virus DNA penyebab mutasi genetik,yaitu terutama virus Epstein-Barr (EBV), virus herpes Sarkoma Kaposi (KSHV), dan virus papiloma manusia (HPV).

Sarkoma Kaposi adalah tumor yang paling umum menyerang pasien yang terinfeksi HIV. Kemunculan tumor ini pada sejumlah pemuda homoseksual tahun 1981 adalah salah satu pertanda pertama wabah AIDS. Penyakit ini disebabkan oleh virus dari subfamili gammaherpesvirinae, yaitu virus herpes manusia yang juga disebut virus herpes Sarkoma Kaposi (KSHV). Penyakit ini sering muncul di kulit dalam bentuk bintik keungu-unguan, tetapi dapat menyerang organ lain, terutama mulut, saluran pencernaan, dan paru-paru.

Kanker getah bening tingkat tinggi (limfoma sel B) adalah kanker yang menyerang sel darah putih dan terkumpul dalam kelenjar getah bening, misalnya seperti limfoma Burkitt (Burkitt's lymphoma) atau sejenisnya (Burkitt's-like lymphoma), diffuse large B-cell lymphoma (DLBCL), dan limfoma sistem syaraf pusat primer, lebih sering muncul pada pasien yang terinfeksi HIV.
Kanker ini seringkali merupakan perkiraan kondisi (prognosis) yang buruk. Pada beberapa kasus, limfoma adalah tanda-tanda utama AIDS. Limfoma ini sebagian besar disebabkan oleh virus Epstein-Barr atau virus herpes Sarkoma Kaposi.

Kanker leher rahim pada wanita yang terkena HIV dianggap tanda utama AIDS. Kanker ini disebabkan oleh virus papiloma manusia.

Pasien yang terinfeksi HIV juga dapat terkena tumor lainnya, seperti limfoma Hodgkin, kanker usus besar bawah (rectum), dan kanker anus.
Namun demikian, banyak tumor-tumor yang umum seperti kanker payudara dan kanker usus besar (colon), yang tidak meningkat kejadiannya pada pasien terinfeksi HIV. Di tempat-tempat dilakukannya terapi antiretrovirus yang sangat aktif (HAART) dalam menangani AIDS, kemunculan berbagai kanker yang berhubungan dengan AIDS menurun, namun pada saat yang sama kanker kemudian menjadi penyebab kematian yang paling umum pada pasien yang terinfeksi HIV.

Sabtu, 21 Mei 2011

Pilek Menahun Tutorial Imunologi

Skenario: Pilek menahun
            Seorang laki-laki berumur 15 tahun datang ke puskesmas dengan riwayat menderita pilek selama kira-kira satu tahun. Kadang-kadang pilek ini disertai lendir pada tenggorokan yang dirasakan berasal dari belakang hidung. Pada waktu kecil ia sering menderita sesak napas.
Keyword :
1. Laki-laki 15 tahun
2. Pilek kurang lebih satu tahun
3. Riwayat sesak napas waktu kecil
4. Lendir di tenggorokan yang berasal dari belakang hidung

Pertanyaan–pertanyaan penting
1.      Apa yang dimaksud dengan pilek ?
2.      Apa penyebab timbulnya pilek dan mekanismenya ?
3.      Bagaimana anatomi hidung dan tenggorokan ?
4.      Penyakit apa saja yang berhubungan dengan gejala pada kasus di atas (pilek) ?
5.      Bagaimana pengaruh jenis kelamin dan usia ?
6.      Apakah penyakit ini termasuk alergi atau infeksi, tipe berapa dan bagaimana mekanismenya ?
7.      Apakah hubungan sesak napas dengan rinitis ?
8.      Bagaimana penatalaksanaan kasus ini ?

Jawaban pertanyaan
1. Definisi pilek:
Pilek dalam istilah kedokteran dikenal sebagai rhinorea. Rhinorea adalah pengeluaran bebar berupa cairan dari hidung.
Etiologi rhinorea:
- infeksi virus dan bakteri pada saluran napas bagian atas.
- herediter (keturunan)
- Lingkungan: perubahan cuaca dan kelembaban
- penggunaan obat yang berlebihan
- alergen: bulu binatang, pollen, debu, dll
- psikis





























4. Diferensial diagnosis yang kami sepakati antara lain:
a. Rinitis alergi (diagnosis utama)
                         Berdasarkan sifat berlangsungnya, rinitis alergi terbagi atas 2 jenis, yaitu rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, pollinosis) yang hanya terdapat di negara yang memiliki 4 musim dan rinitis alergi sepanjang tahun (perenial). Alergen penyebab rinitis alergi musiman bersifat spesifik, yaitu tepung sari dan spora jamur. Gejala keduanya hampir sama, hanya sifat berlangsungnya saja yang berbeda. Oleh karena gejala di skenario cenderung mengarah ke rinitis alergi perenial maka pembahasan rinitis alergi difokuskan pada rinitis alergi perenial. Rinitis alergi perenial adalah penyakit/kelainan yang merupakan manifestasi klinis reaksi hipersensitivitas tipe I dengan mukosa hidung sebagai organ sasaran. Gejala rinitis alergi perenial timbul terus-menerus atau intermiten. Meskipun lebih ringan dibandingkan rinitis musiman, tapi karena lebih persisten, komplikasinya lebih sering ditemukan. Dapat timbul pada semua golongan umur, terutama anak dan dewasa muda, namun berkurang dengan bertambahnya umur. Faktor herediter berperan, sedangkan jenis kelamin, golongan etnis dan ras tidak berpengaruh.
                         Penyebab tersering adalah alergen inhalan (dewasa) dan ingestan (anak-anak). Pada anak-anak sering disertai gejala lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan. Diperberat oleh faktor nonspesifik, seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca, dan kelembaban yang tinggi. Pada reaksi alergi ini dilepaskan berbagai zat mediator dengan histamin sebagai zat mediator utama yang menyebabkan efek dilatasi pembuluh darah, peningkatan permeabilitas kapiler, iritasi ujung-ujung saraf sensoris, dan aktivasi sel-sel kelenjar sehingga sekret diproduksi lebih banyak.
                         Gejala klinisnya antara lain: serangan bersin berulang lebih dari lima kali dalam satu serangan, rinorea yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, kadang disertai lakrimasi, tidak ada demam. Bila penyakit berlangsung lama (> 2 tahun) timbul bayangan gelap di daerah bawah mata (allergic shiner) akibat stasis vena sekunder karena obstruksi hidung, allergic salute hingga allergic crease (garis melintang di dorsum nasi sepertiga bawah. Kadang disertai pula penyakit alergi lainnya seperti asma, urtikaria, atau eksim. Pada rinoskopi anterior didapatkan mukosa edema, basah, pucat atau livid, disertai banyak sekret encer. Di luar serangan, mukosa normal kembali, kecuali bila telah berlangsung lama.
b. Rinitis infeksi
                 Rinitis infeksi sering pula disebut sebagai rinitis akut, selesma, atau common cold. Rinitis infeksi disebabkan oleh infeksi virus dan kadang disertai infeksi sekunder oleh bakteri. Penyakit ini sangat mudah menular dan biasanya menyerang orang dengan daya tahan tubuh yang menurun karena lelah, stress atau menderita penyakit lain dan sering timbul bersama radang tenggorok. Gejala prodormal berlangsung beberapa jam berupa hidung pernapasannya terasa panas, kering dan gatal. Gejala awal berlangsung selama 1-2 hari berupa keluar ingus cair, bersin-bersin, dan hidung tersumbat disertai demam, sakit kepala dan sakit tenggorok disertai batuk. Bila terjadi infeksi sekunder oleh bakteri ingus menjadi kental dan berwarna kuning. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak mukosa konka edema dan hiperemis disertai adanya sekret yang banyak, dapat cair dan jernih atau mukoid atau mukopurulen. Penyakit ini dapat sembuh dalam waktu 5-10 hari. Terapi yang penting ialah istirahat dan pengobatan simtomatik berupa analgetika, dekongestan oral atau topikal. Antihistamin dapat diberikan pada masa awal pada saat keluar ingus cair yang deras.
c. Rinitis vasomotor
                 Rinitis vasomotor adalah gangguan fisiologik mukosa hidung karena adanya gangguan keseimbangan susunan saraf otonom sehingga terjadi peningkatan aktifitas saraf parasimpatis. Rinitis vasomotor biasa juga disebut vasomotor catarrh, vasomotor rhinorrhea, nasal vasomotor instability, atau nonspecific allergic rinitis. Faktor-faktor yang yang dapat mempengaruhi keseimbangan vasomotor adalah stimulus nonspesifik, antara lain:
õ Faktor fisik:
- perubahan udara dan kelembaban yang drastis,
- udara dingin,
- kelembaban yang tinggi,
- iritas asap rokok,
- minuman beralkohol,
- bau yang merangsang, seperti parfum
- polusi udara,
- latihan jasmani.
õ Faktor psikis: cemas, sedih, stress, dan lain-lain.
õ Obat-obatan yang menekan atau menghambat kerja saraf simpatis, seperti ergotamine, chlorpromazine, obat anti hipertensi, dan obat vasokonstriksi topikal.
õ Faktor hormonal atau endokrimn, seperti kehamilan, pubertas, pemakaian pil anti hamil, dan hipotiroidisme.
         Rangsangan pada saraf simpatis menyebabkan peningkatan konsentrasi asetilkolin yang mengakibatkan dilatasi pembuluh darah dalam konka serta peningkatan permeabilitas kapiler sehingga menimbulkan edema, sumbatan, dan hipersekresi kelenjar mukus. Sedangkan rangsangan pada saraf simpatis menyebabkan efek sebaliknya. Gejala klinisnya antara lain: hidung tersumbat atau kongesti nasal persisten, bergantian kiri dan kanan, tergantung pada posisi pasien; rhinorea yang mukus atau serosa, kadang agak banyak. Keluhan hidung tersumbat lebih jelas pada saat berbaring, bergantian pada satu sisi dipengaruhi oleh gaya berat.gejala memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur karena perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab, juga karena asap rokok dan sebagai-nya. Berdasarkan gejala yang menonjol, dibedakan atas golongan obsruksi dan rinorea.
d. Rinitis medikamentosa
                 Rinitis medikamentosa adalah kelainan fungsi hidung yang disebabkan oleh pemakaian obat-obatan dalam jangka waktu lama, sehingga menimbulkan gangguan keseimbangan vasomotor. Obat yang sering menimbulkan gangguan ini ialah obat tetes hidung vasokonstriktor. Juga dapat ditimbulkan oleh obat-obat sistemis yang bersifat  antagonis adreno-reseptor alfa seperti antihipertensi dan psikosedatif. Selain itu aspirin, derivate ergo, pil kontrasepsi dan anticholinesterase juga dapat menyebabkan gangguan hidung. Pemakaian obat tetes hidung akan menyebabkan vasokonstriksi sehingga keluhan sumbatan hidung akan hilang. Tetapi bila dipakai berulang-ulang dalam jangka waktu yang lama akan terjadi vasodilatasi setelah vasokonstriksi sehingga menyebabkan obstruksi yang lebih berat. Makin lama efek vasokonstriksi akan berkurang dan akan terjadi juga gangguan aktivitas silia. Oleh karena itu pemakaian tetes hidung vasokon-striktor harus dibatasi, tidak boleh terlalu lama. Gejala yang biasa diperlihatkan adalah hidung tersumbat terus-menerus. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak edema konka yang tidak mengecil dengan aplikasi kapas adrenalin. Kadang-kadang juga disertai hipersekresi.
e. Sinusitis
                         Sinusitis adalah radang sinus paranasal yang gejalanya pada sebagian besar penderita bersamaan dengan gejala rinitis. Bila terjadi pada beberapa sinus disebut multisinus, sedangkan bila mengenai seluruhnya disebut pansinusitis. Yang paling sering terkena adalah sinus maksila kemudian etmoid, frontal, dan sphenoid. Hal ini disebabkan sinus maksila adalah sinus terbesar, letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar, dasarnya adalah dasar akar gigi shingga dapat berasal dari infeksi gigi, dan ostiumnya terletak di medius, di sekitar hiatus semilunaris yang sempit sehingga sering tersumbat. Seperti juga pada hidung, sinus paranasal dilapisi oleh mukosa torak berlapis semu bersilia dengan di antaranya terdapat sel-sel gpblet dan pada permukaannya selalu diliputi oleh palut lendir. Silia dan plut lender ini merupakan sistem proteksi hidung dan sinus paranasal yang disebut  sistem mukosiliar. Silia akan selalu bergerak dengan teratur mengeluarkan lender untuk dibuang, dari hidung ke arah posterior dan dari sinus-sinus menuju ostiumnya. Aliran dari sinus kelompok anterior yaitu sinus maksila, sinus frontal, dan sinus etmoid posterior akan bergabung di infundibulum etmoid yang merupakan bagian dari kompleks ostio-meatal (KOM) untuk dialirkan ke nasofaring. Aliran dari kelompok posterior yaitu dari sinus etmoid posterior dan sinus sphenoid bergabung di resesus sfenoetmoidalis kemudian dialirkan ke nasofaring. Bila terjadi pembengkakan atau sumbatan di KOM maka gerak silia dan ventilasi sinus akan terganggu sehingga menyebabkan  drainase dari dalam sinus menjadi terhambat. Retensi sekret di dalam sinus akan menjadi media yang baik untuk tumbuhnya kuman patogen penyebab sinusitis.
             Menurut Adams, bedasarkan perjalanan penyakitnya sinusitis terbagi ke dalam 3 kelas, yaitu:
õ Sinusitis akut
                      Pada sinusitis akut  terdapat tanda-tanda radang akut. Penyebabnya dapat berupa virus atau bakteri, yang paling sering adalah Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae yang ditemukan pada 70% kasus. Sinusitis akut berlangsung dari beberapa hari hingga 4 minggu. Dari hidung keluar ingus yang kental dan berwarna kuning yang sering terasa turun ke tenggorok. Gejala awalnya adalah infeksi saluran pernapasan atas (terutama pada anak kecil), berupa pilek dan batuk yang lama, lebih dari 7 hari. Gejala sistemiknya adalah demam dan rasa lesu, sedangkan gejala lokal berupa hidung tersumbat, ingus kental yang kadang berbau dan mengalir ke nasofaring (post nasal drip), halitosis, sakit kepala yang lebih berat pada pagi hari, rasa nyeri di daerah sinus yang sakit (di pipi, pangkal hidung, belakang mata), dan nyeri saraf/nyeri alih dan ada nyeri tekan di atas sinus.
õ Sinusitis subakut
                      Sama dengan sinusitis akut, hanya tanda akut sudah reda dan perubahan histologik mukosa sinus masih reversible. Sinusitis subakut berlangsung dari 4 minggu- 3 bulan. Pada rinoskopi anterior tampak sekret purulen di meatus medius atau superior dan di nasofaring.
õ Sinusitis kronik
              Sinusitis kronik menunjukkan perubahan mukosa sinus yang ireversibel, misalnya menjadi jaringan granulasi atau poliploid. Umumnya sukar disembuhkan dengan terapi medikamentosa saja. Harus dicari faktor penyebab dan predisposisinya. Penyebab terjadinya sinusitis kronik antara lain bahan kimia, alergi, dan defisiensi imunologik yang dapat menyebabkan kerusakan silia sehingga terjadi perubahan mukosa hidung. Perubahan ini mempermudah terjadinya infeksi. Terdapat edema konka yang mengg-anggu drainase sekret, sehingga silia rusak, dan seterusnya. Jika pengobatan pada sinusitis akut tidak adekuat, maka akan terjadi sinusitis kronik. Gejala subyektif bervariasi dari ringan sampai berat, seperti:
- gejala hidung dan nasofaring: sekret di hidung dan nasofaring (post nasal drip). Jika sekret ini berada terus-menerus akan menyebabkan batuk kronik.
- gejala faring: rasa tidak nyaman di tenggorok.
- gejala telinga: gangguan pendengaran akibat sumbatan tuba Eustachius.
- nyeri kepala, biasanya pada pagi hari dan berkurang di siang hari. Mungkin akibat penimbunan ingus dalam rongga hidung dan sinus, serta stasis vena pada malam hari.
- gejala mata: akibat penjalaran infeksi melalui duktus nasolakrimalis.
- gejala saluran napas: batuk dan kadang komplikasi di paru.
- gejala saluran cerna: gastroenteritis akibat mukopus yang tertelan.
f. Polip hidung
                  Polip hidung adalah massa lunak, berwarna putih atau keabu-abuan yang terdapat dalam rongga hidung. Paling sering berasal dari sinus etmoid, multipel, dan bilateral. Penyakit ini biasanya terjadi pada orang dewasa, sedangkan pada anak mungkin merupakan gejala kistik fibrosis. Polip hidung terjadi akibat reaksi alergi pada mukosa hidung dan pemsicunya berupa alergen, sinusitis kronik, iritasi, sumbatan hidung oleh kelainan anatomi seperti deviasi septum dan hipertrofi konka. Pada penderita polip hidung terjadi pembengkakan pada mukosa hidung yang berisi banyak cairan interselular dan sel radang, kemudian terdorong ke dalam rongga hidung oleh gaya berat. Gejala klinisnya berupa bersin dan iritasi di hidung (gejala utama), sumbatan hidung yang menetap dan semakin lama semakin berat, rinorea, dapat terjadi hiposmia atau anosmia, bila menyumbat ostium dapat terjadi sinusitis dengan ingus purulen. Pada pemeriksaan klinis tampak massa putih keabu-abuan atau kuning kemerahan dalam kavum nasi. Polip bertangkai sehingga mudak digerakkan, konsistensinya lunak, tidak nyeri bila ditekan, tidak mudah berdarah, dan tidak mengecil pada pemakaian vasokonstriktor.

5. Apakah penyakit tersebut ada hubungannya dengan gender dan umur?
            Ada penyakit yang hanya mengenai pria saja, wanita saja, atau dapat mengenai kedua-duanya. Begitu pula dengan umur, sebab ada penyakit yang predileksinya pada bayi, anak-anak, remaja, atau dewasa. Namun, pada diagnosa utama yaitu rinitis alergi, hanya umur yang cukup berperan terhadap prevalensi penyakit ini, sedangkan gender tidak berpengaruh.

6. Mekanisme adanya lendir pada penderita rhinitis alergi adalah sebagai berikut:
        Rongga hidung memiliki sistem pertahanan dalam melawan setiap antigen atau benda asing yang masuk, di antaranya adalah:
a. Spesifik Neutralizing Antibodies, bersifat spesifik dan dapat ditingkatkan dengan vaksinasi.
b. Adanya Vibriassae/silia pada rongga hidung sebagai penangkap/penjaring kotoran/ benda asing yang masuk.
c. Palut lendir (lisosim), saat terangsang akan mengeluarkan lendir yang berlebihan.
d. Interferon, merupakan protein dasar yang mempunyai efek antivirus nonspesifik (menghambat pertumbuhan virus, tetapi tidak menghancurkan).
Jadi, adanya lendir pada penderita rhinitis alergi merupakan salah satu bentuk sistem pertahanan tubuh.

7. Hubungan sesak napas (dalam kasus ini sesak napas diidentikkan dengan asma) dengan rinitis dapat dijelaskan sebagai berikut:
Mukosa nasal dan mukosa bronkus memiliki banyak kesamaan. Studi-studi epidemiologi secara konsisten menunjukkan bahwa sesak asma  dan rhinitis sering ditemukan bersamaan pada penderita yang sama. Hampir semua penderita asma dan alergi dan asma non alergi menderita rhinitis. Banyak penderita rhinitis juga menderita asma. Rhinitis alergi berhubungan dan juga merupakan faltor resiko asma. Rhinitis alergi berhubungan dan juga merupakan faktor resiko asma. Banyak penderita rhinitis alergi mengalami peningkatan hiperaktivitas bronkus yang non spesifik. Studi patofisiologi menyokong adanya hubungan erat antara rhinitis dan asma. Meskipun ada perbedaan antara rhinitis dan asma, saluran napas atas dan bawah diduga dipengaruhi oleh suatu proses inflamasi yang serupa yang mungkin dapat menetap dan diperberat oleh mekanisme yang saling berhubungan ini.penyakit alergi dapat bersifat sistemik. Provokasi bronkial dapat menyebabkan inflamasi nasal dan provokasi nasal dapat menyebabkan inflamasi nasal.

DIAGNOSIS
                        Diagnosis rhinitis alergi ditegakkan berdasarkan :
  1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena seringkali tidak terjadi di hadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosa dapat ditegakkan dari anamnesis saja. 
  1. Pemeriksaan rinoskopi anterior
Pada pemeriksaan anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai adanya sekret encer yang banyak.
  1. Pemeriksaan naso endoskopi
  2. Pemeriksaan sitologi hidung
Walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.
  1. Hitung eosinofil dalam darah tepi
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio immunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau pada anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik degan RAST (Radio Immnuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test).
  1. Uji kulit alergen penyebab dapat dicari secara in vivo
Ada beberapa cara, yaitu uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET), uji cukit (Prick Test) dan uji gores (Scratch Test). Kedalaman kulit yang dicapai pada kedua uji kulit (uji cukit dan uji gores), sama. SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapt diketahui. Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut di atas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu diberikan kepada pasien setelah berpantang selama lima hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan. Uji kulit untuk alergi makanan yang akhir-akhir ini banyak dilakukan adalah provocative neutralization test atau Intracutaneus Provocative Food Test (IPFT).

























RHINITIS ALERGI

Definisi
            Menurut Von Pirquet (1986), rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya telah tersensitasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulang dengan alergen spesifik tersebut.
            Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, rhinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.

EPIDEMIOLOGI
            Rhinitis alergi dapat timbul pada semua golongan umur, terutama anak dan dewasa muda, namun berkurang dengan bertambahnya umur. Faktor herediter berperan, sedangkan jenis kelamin, golongan etnis, dan ras tidak berpengaruh.

ETIOLOGI
            Penyebab paling sering adalah alergen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan alergen ingestan, terutama pada anak-anak. Alergen inhalan utama adalah alergen inhalan dalam rumah (indoor) dan alergen di luar rumah (outdoor). Alergen inhalan dalam rumah terdapat di kasur kapuk, tutup tempat tidur, selimut, karpet, dapur, tumpukan baju dan buku-buku, serta sofa. Komponen alerginya terutama berasal dari serpihan kulit dan feses tungau D. Pteronyssinus, D. Farinae, dan Blomia tropicalis, kecoa, dan bulu binatang peliharaan (anjing, kucing, dan burung). Alergen inhalan di luar rumah berupa pollen dan jamur. Alergen ingestan sering merupakan pemicu rhinitis alergi pada anak-anak dan biasanya disertai dengan gejala lain sperti urtikaria dan gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik pada golongan perennial lebih ringan bila dibandingkan dengan golongan musiman, tetapi karena golongan perennial bersifat persisten maka komplikasinya lebih sering ditemukan. Dapat diperberat oleh faktor nonspesifik, seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca, dan kelembaban yang tinggi.
Patofisiologi
            Rinitis alergi merupakan satu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi yang diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reactin atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen  sampai 1 jam setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hipereaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.
            Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di pemukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk kompleks peptida MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5 dan IL 13.
            IL 4 dan IL 3 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4). Braikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL3, IL4, IL5, IL6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dll. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
            Histamin akan meransang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga meniimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel Goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga menjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin meransang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan ransangan pada mukosa  hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1).
            Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai di sini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFl ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor (GMCSF) dan ICAM 1 pada sekret hidung. Timblnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinofilic Cationic Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini selain faktor spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang meransang, perubahan cuaca dan kelembapan udara yang tinggi.
            Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas:
1.      Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya debu rumah, tungau, serpihan epitel dan bulu binatang serta jamur.
2.      Alergen ingestan, yang masuknya ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, telur, coklat, ikan, udang.
3.      Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin dan sengatan lebah.
4.      Alergen kontaktan, ynag masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa misalnya bahan kosmetik, perhiasan.
Satu macam alergen dapat meransang lebih dari satu organ sasaran, sehingga memberi gejala campuran, misalnya debu rumah yang memberi gejala asma bronkial dan rinitis alergi. Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari:
1.      Respons primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non-spesifik dan dapat berakhir sampai di sini. Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan reaksi berlanjut menjadi respons sekunder.
2.      Respons sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3 kemungkinan ialah sistem imunitas selular atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada atau memang sudah ada defek dari sitem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respons tertier.
3.      Respons tertier
Reaksi imunologik yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.


GEJALA KLINIK
            Gejala klinik alergi yang khas adalah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebenarnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Bersin dianggap patologik apabila terjadi lebih dari lima kali dalam satu kali serangan. Gejala lain adalah terdapatnya ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata terasa gatal, yang kadang-kadang disertai pengeluaran air mata yang banyak (lakrimasi).
            Gejala yang khas pada anak adalah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena statis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini dikenal sebagai allergic shiner. Selain itu terdapat pula allergic salute akibat kebiasaan anak yangs ering menggosok-gosok hidung dengan punggung tangan yang menyebabkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi sepertiga bawah (allergic crease). Sering disertai penyakit alergi lainnya seperti asma, utikaria, atau eksim.
            Pada rinoskopi anterior didapatkan mukosa edema, basah, pucat atau livid, disertai banyak sekret encer. Di luar serangan, mukosa kembali normal, kecuali bila telah berlangsung lama.
Tidak ada demam dan sekret biasanya tidak mengental ataupun menjadi purulen. Awitan gejala timbul cepat setelah paparan allergen. Gejala penyerta seperti mual, bersendawa, kembung, diare, somnolen, atau insomnia, juga dapat memberi kesan uatu allergen yang ditelan. Pada pasien dengan rinitis alergi, sering terdapat riwayat alergi atau asma dalam keluarga. Seringkali gejala yang timbul tidak lengkap. Kadang-kadang hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.

DIAGNOSA BANDING
            Rhinitis nonalergi, rhinitis infeksi, dan common cold.

KOMPLIKASI
            Polip hidung, otitis, dan sinus paranasal.

DIAGNOSIS
            Diagnosis rhinitis alergi ditegakkan berdasarkan :
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena seringkali tidak terjadi di hadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosa dapat ditegakkan dari anamnesis saja. 
2. Pemeriksaan rinoskopi anterior
3. Pada pemeriksaan anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai adanya sekret encer yang banyak.
4. Pemeriksaan naso endoskopi
5. Pemeriksaan sitologi hidung
Walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.
6. Hitung eosinofil dalam darah tepi
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio immunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau pada anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik degan RAST (Radio Immnuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test).
7. Uji kulit alergen penyebab dapat dicari secara in vivo
Ada beberapa cara, yaitu uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET), uji cukit (Prick Test) dan uji gores (Scratch Test). Kedalaman kulit yang dicapai pada kedua uji kulit (uji cukit dan uji gores) sama. SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui. Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut di atas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu diberikan kepada pasien setelah berpantang selama lima hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan. Uji kulit untuk alergi makanan yang akhir-akhir ini banyak dilakukan adalah provocative neutralization test atau Intracutaneus Provocative Food Test (IPFT).

PENATALAKSANAAN
1.      Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan allergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.dapat dicapai dengan mengisolasi pasien dari allergen, menempatkan suatu sawar antara pasien dan allergen atau menjauhkanallergen dari pasien. selain itu, penderita rhinitis alergi seperti juga penderita alergi saluran napas lainnya sangat dianjurkan untuk berolah raga secara teratur karena akan mengurangi jumlah dan beratnya serangan alergi.
2.      Simtomatis
a.       medikamentosa
      Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1 yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target dan merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis alergi. pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral.
      Antihistamin dibagi dalam dua golongan yaitu golongan antihistamin generasi -1 (klasik) dan generasi -2 (non sedative). Antihistamin generasi-1 membuat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta sera mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk dalam kelompok ini anatara lain adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin sedangkan yang dapat diberikan secara topical adalah azelastin. Antihistamin generasi-2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar darah otak. Bersifat selektif mengikat reseptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek antikolinergik, antiadrenergik dan efek pada SSP minimal (non sedative). Antihistamin diabsorsi secara oral dengan cepat dan mudah serta efektif untuk mengatasi gejala pada respon fase cepat seperti rinore, bersinh, gatal tetapi tidak efektif untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat. antihistamin non sedative dapat dibagi menjadi 2 golongan menurut keamanannya. Kelompok pertama astemisol dan terfenadin yang mempunyai efek kardioktoksik. Toksisitas terhadap jantung tersebut disebabkan repolarisasi jantung yang tertunda dan dapat menyebabkan aritma ventrikel, henti jantung dan bahkan kematian mendadak. Kelompok kedua adalah loratadin, setirisin, dan fexofenadin
      Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergic alfa dipakai sebagai dipangestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau topical. Namun pemakaian secara topical harus hemat hanya boleh untuk beberapa hari saja (jangka pendek 4-10 hari) untuk menghindari terjadinya rhinitis medikamentosa.
      Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat respons fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. yang sering dipakai adalah kortikosteroid topical (beklomentason, budesonid, flunisolid, flutikason, mometason furoad dan triamsinolon). Pemakaian peroral dengan pemberian intermitten atau tapering off hanya untuk kasus berat, diberikna 2 minggu sebelum pemberian topical agar pemberian topical efektif. Kortikosteroid topical bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksit dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit, mencegah bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak hiperresponsif terhadap rangsangan alergen ( bekerja pada respon fase lambat dan cepat). Preparat sodium kromoglikat topikal bekerja menstabilkan mastosit (mungkin menghambat ion kalsium) sehingga pelepasan mediator dihambat. Pada respon fase lambat, obat ini juga menghambat proses inflamsi dengan menghambat aktifasi sel netrofil, eosinofil dan monosit. Hasil terbaik dapat dicapai bila diberikan secara profilaksis.
      Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromide, bermanfaat untuk mengatasi rinore karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor. Pengobatan baru lainnya untuk rhinitis alergi di masa yang akan datang adalah anti leukotrin, anti IgE, DNA rekombinan
b.      Operatif
      Tindakan konkotomi (pemotongan konkainferior) perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat
3.      Imunoterapi
-          Desensitisasi dan hiposensitisasi
      Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan
-          Netralisasi
      Caranetralisasi dilakukan untuk alergi makanan. Pada netralisasi, tubu8h tidak membentuk “blocking antibody” seperti pada desensitasi.
  

Senin, 25 April 2011

Laporan Tutorial Blok Muskuloskeletal

SKENARIO -1
Seorang wanita pekerja, 38 tahun datang ke Poliklinik saraf dengan keluhan nyeri dan kelemahan pada ibu jari dan jari telunjuk tangan kanan, dialami sejak 3 bulan yang lalu, dirasakan makin lama makin berat. Keluhan ini disertai dengan rasa kram pada jari-jari tersebut terutama pada malam hari, tidak ada riwayat trauma dan infeksi.

Kata Sulit
*  Kram (paresthesia) adalah perasaan sakit atau perasaan yang menyimpang, seperti kesemutan, rasa terbakar, dll[1].
*  Trauma adalah luka atau cedera, baik fisik maupun psikis[1].

Kata Kunci
*  Wanita, 38 tahun
*  Nyeri dan kelemahan ibu jari dan telunjuk tangan kanan
*  Kram pada malam hari
*  Riwayat trauma dan infeksi (-)

Pertanyaan
1.      Penyakit apa saja yang dapat menyebabkan nyeri dan kelemahan pada skenario di atas?
2.      Jelaskan topografi innervasi manus!
3.      Bagaimana mekanisme nyeri, kram, & kelemahan pada skenario di atas?
4.      Pemeriksaan apa yang dilakukan untuk menunjang diagnosa?
5.      Bagaimana Penatalaksanaannya?



Jawaban
1.      Penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan nyeri dan kelemahan pada skenario di atas adalah:
*  Carpal Tunnel Syndrome
Definisi
Carpal tunnel syndrome yang dikenal juga sebagai Tardy Median Nerve Palsy adalah kumpulan gejala dan tanda akibat penekanan nervus medianus di rongga/terowongan carpal[2] atau neuropati nervus medianus akibat kompresi pada waktu melewati “carpal tunnel” di antara tulang carpal dan ligamentum carpalis tranversum[3].

Insidens
Sering terjadi pada usia antara 30 dan 60 tahun; wanita lebih sering terkena dibandingkan laki-laki[3].

Etiologi
Capal Tunnel Syndrome (CTS) biasanya idiopatik, tetapi dapat berhubungan dengan beberapa kondisi mendasar yaitu diabetes mellitus, hipotiroidisme, rheumatoid arthritis, kehamilan, akromegali, dan trauma[4]. Berbagai faktor yang dapat menyebabkan Carpal Tunnel Syndrome[2]:
*       Trauma langsung ke carpal tunnel yang menyebabkan penekanan, misalnya Colles Fracture dan edema akibat trauma tersebut.
*       Posisi pergelangan tangan misalnya fleksi akut saat tidur, imobilisasi pada posisi fleksi, dan deviasi ulnar yang cukup besar.
*       Trauma akibat gerak fleksi-ekstensi berulang pergelangan tangan dengan kekuatan yang cukup seperti pada pekerjaan tertentu yang banyak memerlukan gerakan pergelangan tangan
*       Tumor atau benjolan yang menekan carpal tunnel seperti ganglion, xanthoma, dan lipoma.
*       Edema akibat infeksi
*       Edema inflamasi yang disertai arthritis reumatoid, tenosivitis seperti penyakit de Quervain dan trigger finger.
*       Osteofit sendi carpal akibat proses degenerasi.
*       Kelainan sistemik seperti obesitas, diabetes mellitus, disfungsi tiroid, amilodosis, penyakit Raynaud.
*       Edema pada kehamilan (hormonal).

Gambaran Klinis[5]
Kelainan ini terutama ditemukan pada wanita bersifat, bilateral sebesar 20-30% dan biasanya berlangsung 6-12 bulan. Ditemukan rasa tebal, perih, dan tertusuk pada jari dan terutama ujung ibu jari, jari telunjuk, dan jari tengah. Gejala bertambah hebat pada malam hari, pada saat bangun, pada waktu mengangkat tangan atau setelah mengerjakan sesuatu seperti menjahit, mengetik. Gejala dapat bertambah berat pada masa kehamilan. Bila kelainan sudah berlangsung lama maka terdapat atrofi muskulus brevis pada bagian penonjolan tenar disertai gangguan sensibilitas.
Sumber gambar: Atlas of Neorumusculer Disease by Eva L. Feldman, Wolfgang Grisold, James W. Russell, Udo A. Zifko

*  Radial Nerve Entrapment
Definisi
Penekanan nerbus radialis yang dapat terjadi di mana saja sepanjang perjalanan dari nervus radialis yang dapat menyebabkan denervasi otot-otot extensor atau supinator dan mati rasa atau paresteshia pada daerah distribusi dari radial nerve sensory (RSN) [6].

Etiologi
Jepitan nervus radialis dapat terjadi pada waktu nervus interosseus posterior menuju supinator. Jepita yang terjadi bisa berupa pita yang menekan, ganglion, lipoma, atau fibroma pada daerah leher radius[5]. Penekanannervus radialis di axilla khususnya terlihat pada orang mabuk yang tertidur dengan tangan tergantung di belakang kursi (Saturday night palsy)[4].

Gambaran Klinis[4]
Otot-otot extensor pergelangan tangan mengalami paralisis sehingga terjadi ‘wrist drop’. Kekuatan cengkraman menurun secara drastis sebagaimana gerakan fleksor jari tidak berfungsi dengan baik pada posisi fleksi pergelangan tangan.
Sumber gambar: Atlas of Neorumusculer Disease by Eva L. Feldman, Wolfgang Grisold, James W. Russell, Udo A. Zifko

*  Tenosivitis de Quervain
Definisi [7]
Tenosivitis de Quervain adalah inflamasi tendon pada sisi pergelangan tangan pada area sebelum ibu jari. Tendon-tendon ini meliputi extensor pollicis brevis dan tendon-tendon abductor pollicis longus.

Insidens[8]
Umumnya terjadi pada wanita antara usia 30-50 tahun

Manifestasi klinis[7]
Tenosivitis de Quervain biasanya disertai nyeri dan nyeri tekan pada sisi di bawah ibu jari. Terkadang terdapat sedikit pembengkakan dan kemerahan pada area tersebut.
Sumber gambar: http://www.eorthopod.com/public/patient_education/6454/de_quervains_tenosynovitis.html

2.      Topografi innervasi manus
Nervus Medianus[9]
            Dibentuk oleh radix superior(radix lateralis) dari fasiculus lateralis dan radix inferior (radix medialis) dari fasiculus medialis, berada di sebelah lateral arteri axillaries. Dibentuk oleh serabut-serabut saraf yang berpusat pada medulla spinalis segmental C5-Th 1.
            N. medianus berjalan bersama a. Brachialis sepanjang brachium, berada di sebelah lateral, lalu menylang di sebelah ventral arteria tersebut (bagian pertengahan brachium). Kemudian memasuki fossa cubiti. Nervus ini tidak memiliki cabang di brachium.
            Di daerah antebrachium, n.medianus berada antara kedua caput m.pronator teres, berjalan ke distal di bagian medial antebrachium. N.medianus masuk ke dalam regio antebrachium dipercabangkan ramus interosseus anterior yang berjalan di permukaan ventral membrana interossea dan mempersarafi:
*                  M. Flexor pollicis longus
*                  Pars lateralis m.flexor digitorum profundus
*                  M. Pronator quadratus
Cabang ini berakhir pada pronator quadratus.
Ramus palmaris nervi mediani adalah cabang yang menembusi fascia antebrachii, berjalan ke distal menuju ke pergelangan tangan dan terbagi menjadi ramus medialis (mempersarafi kulit manus) dan ramus lateralis (mempersarafi kulit daerah thenar)
Keterangan gambar:
1.    Nervus medianus
2.    Thenar branch
3.    Ligamnetum carpal transversalis
Sumber gambar: Atlas of Neorumusculer Disease by Eva L. Feldman, Wolfgang Grisold, James W. Russell, Udo A. Zifko


            Pada pergelangan tangan n. Medianus berada di sebelah profunda tendo m. Palmaris longus, berjalan di antara tendo m. Flexor digitorum superficialis (di sebelah medial) dan tendo m.flexor carpi radialis (di sebelah lateral). Setelah meninggalkan tepi distal ligamentum carpi transversum, n. medianus mempercabangkan suatu ramus muscularis.
            N.medianus berakhir dengan membentuk 3 buah nervi digitales  palmares communes, masing-masing bercabang lagi membentuk nervi digitalis palmares proprii.
Nervus Radialis[9]
            Dari fossa axillaris ke sulcus spiralis pada brachium.bersama dengan a. Profunda brachii. Tiba di sisi lateral brachium, n.radialis menembusi septum intermusculare laterale, berjalan di antara m.brachialis dan m.brachioradialis, di sebelah ventral eicondylus lateralis humeri, terbagi menjadi dua ramus, yaitu:
*              Ramus superficialis n.radialis
Sumber gambar: Atlas of Neorumusculer Disease by Eva L. Feldman, Wolfgang Grisold, James W. Russell, Udo A. Zifko

Merupakan lanjutan dari n.radialis, berjalan pada sisi lateral antebrachium. Pada daerah sepertiga bagian medial antebrachium saraf ini berjalan bersama a.radialis. Dan pada sepertiga bagian  distal, akan meninggalkan a.radialis lalu berjalan ke arah dorsal ditutupi olh tendo m. Brachioradialis, mencapai facies dorsalis pergelangan tangan akan bercabang dua membentuk remus lateralis (akan mempersarafi kulit bagian radialis) dan ramus medialis. Ramus medialis akan mengadakan anastomose dengan cabang-cabang dari nervus cutaneus antebrachii lateralis dan ramus dorsalis nervi ulnaris, selanjutnya membentuk 4 buah nervus digitalis dorsalis.
*  Ramus profundus nervi radialis
Berjalan ke dorsal, berada pada sisi radialis os. Radius, menembusi m.supinator, berjalan ke arah distal pada facies dorsalis membrana interossea, ditutupi oleh m.extensor pollicis longus, kini disebut nervus interosseus posterior. Setelah menembusi m.supinator dipercabangkan rami musculares untuk m.extensor digitorum communis, m.extensor digiti minimi, m.extensor carpi ulnaris, m.extensor pollicis longus et brevis, m.abductor pollicis longus dan m.extensor indicius proprius

3.      Mekanisme terjadinya nyeri, kram, dan kelemahan
Beberapa peneliti berpendapat bahwa faktor mekanik dan vaskular memegang peranan penting dalam terjadinya CTS. Seperti yang diketahui, CTS merupakan penyakit kronik progresif dimana terjadi penekanan terhadap nervus medianus. Tekanan yang berulang-ulang dan lama pada nervus medianus akan menyebabkan peninggian tekanan intravasikuler sehingga aliran darah vena intravasikuler melambat. Secara langsung, hal ini berpengaruh terhadap penyediaan nutrisi sehingga terjadilah iskemia dan rusaklah dinding endotel. Kerusakan endotel akan diikuti dengan kebocoran protein. Bila kondisi ini terus berlanjut, maka akan terjadi fibrosis epineural yang merusak saraf. Hal ini berpengaruh terhadap timbulnya rasa nyeri dan kaku pada tangan[10].
Tekanan langsung pada saraf perifer dapat pula menyebabkan invaginasi Nodus Ranvier dan diemielinisasi lokal sehingga konduksi saraf terganggu[10], hal ini berhubungan dengan timbulnya sensasi kram (kesemutan) pada jari-jari. Kesemutan sendiri adalah gejala yang muncul akibat gangguan system saraf sensorik. Gangguan itu timbul akibat rangsangan listrik pada system itu tidak tersalur secara penuh oleh karena gangguan konduksi saraf yang dijelaskan pada awal paragraf. Gangguan tersebut dimulai dari gangguan saraf sentuhan, tekanan, rasa nyeri, suhu dingin dan suhu panas. Rangsangan ini diterima reseptor saraf pada kulit lalu dikirim ke saraf tepi menuju ke SSP si sumsum tulang belakang. Gangguan saraf tepi sendiri biasa berwujud pada gejala kesemutan akibat saraf terjebak oleh otot atau jaringan lain di sekitarnya[11].

4.      Pemeriksaan yang dilakukan untuk menunjang diagnosis:
Diagnosis Carpal Tunnel Syndrome[2]
Gejala dan tanda serta factor penyerta dan penyebab perlu dievaluasi. Tanda yang sering timbul berupa gangguan sensorik pada posisi volar ibu jari hingga sisi radial jari manis, tanda Tinel positif (nyeri pada perkusi nervus medianus di area carpal tunnel), tes Phalen positif yaitu fleksi pergelangan tangan secara akut selama 60 detik menimbulkan atau menambah rasa kesemutan (parestesi). Jika proses sudah lama atau derajat yang berat dapat menimbulkan atrofi otot thenar. Pemeriksaan tambahan yang paling dapat dipercaya adalah tes Nerve Conduction Studies. Pemeriksaan lain yaitu Electromyography, Vibratory Capacity, Semmes - Weinstein Monofilament Test.

Diagnosis Radial Nerve Entrapment[6]
Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnoasis adalah pemeriksaan radiologis dan electromyograf (EMG) serta pemeriksaan konduksi saraf. Pemeriksaan radiologis dapat digunakan  untuk mendeteksi adanya fraktur, callus, atau tumor sebagai penyebab dari terjadinya jebakan. Pemeriksaan MRI berguna untuk mendeteksi tumor-tumor seperti lipoma danganglion, begitu juga aneurisma dan rheumatoid synovitis.

Diagnosis Tenosivitis de Quervain[12]
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan tanda terutama nyeri tekan local, nyeri dan pembengkakan yang melibatkan ibu jari, sering kali terjadi nyeri menjalar hingga ke ibu jari dan lengan bawah. Selain itu diagnosis ditegakkan bila uji finklestein memberikan hasil positif.

5.      Penatalaksanaan:
Penatalaksanaan Carpal Tunnel Syndrome[2]
Pada CTS stadium awal dan derajat ringan, pengobatan non operatif dapat dilakukan dengan cara menghilangkan penyebab, posisi pergelangan tangan dibuat netral/lurus (displint), penggunaan NSAID hingga suntikan kortikosteroid di carpal tunnel. Jika tak ada respons atau gejala dan tanda tak berkurang atau bahkan timbul atrofi otot thenar, prosedur operasi dilakukan.
Kaplan, Glickel dan Eaton mengidentifikasi lima faktor penting untuk menentukan keberhasilan pengobatan non operatif: usia lebih 50 tahun, durasi lebih 10 bulan, parestesi menetap, stenosing flexor tenosynovitis, tes Phalen positif dalam kurang dari 30 detik. Makin banyak atau lengkap faktor tersebut terdapat pada penderita, makin kecil keberhasilan pengobatan non operatif. Tidak ada pengobatan non operatif jika 4 atau 5 faktor tersebut ada.
Studi Jose J. Monsivais di ElPaso-Texas pada pekerja penderita CTS yang dominan menggunakan atau menggerakkan tangan/pergelangan tangan (fleksi-ekstensi), menunjukkan bahwa operasi lebih awal dan rehabilitasi memberikan hasil lebih baik untuk kembali bekerja dibandingkan dengan pengobatan non operatif.

Penatalaksanaan Radial Nerve Entrapment[5]
Pemeriksaan harus dilakukan untuk menentukan lokalisasi terjadinya jepitan atau tekanan. Pengobatan berupa tindakan operasi untuk membebaskan jepitan atau menghilangkan tekanan, tetapi sebelumnya harus dilakukan pemeriksaan untuk menentukan lokalisasi jepitan.

Penatalaksanaan Tenosivitis de Quervain[12]
Penatalksaan meliputi non-operatif dan operatif. Penatalaksanaan operatif meliputi istirahat, injeksi steroid, dan pemberian anti inflamasi.

TUJUAN PEMBELAJARAN SELANJUTNYA
Tujuan pembelajaran selanjutnya adalah mencari informasi baru berkaitan dengan skenario di atas yang dapat memberikan pengetahuan tambahan bagi mahasiswa dan membantu penegakan diagnosis pada skenario di atas.

INFORMASI BARU
Klasifikasi Carpal Tunnel Syndrome[2]
Berdasarkan percobaan dan observasi klinis, Galberman dkk membagi CTS menjadi stadium akut, awal/dini, intermediate, dan kronik.
            Jose J. Monsevais MD, dkk mengklasifikasikan CTS menjadi 3 derajat:
Derajat
Tinel’s Sign
Phalen’s Test
Diskriminasi 2 titik
Vibratory capacity
Conduction velocities
EMG
Atrofi Otot Thenar
Ringan
-
- atau + dengan provokasi
3-6 mm
Normal atau terganggu
Normal atau minimal terganggu
Normal atau minimal terganggu
-
Sedang
+
+
6-10 mm
Absen
Memanjang
Abnormal
-
Berat
+/-
+
10 mm
Absen
Abnormal
Abnormal
+/-

Biologi Efek Penekanan Saraf Perifer [2]
Efek penekanan saraf perifer termasuk pada CTS, tergantung lama (akut, intermediate, kronik) dan besarnya (ringan, besar, sangat besar) tekanan. Rata-rata pada orang normal tekanan intra carpal tunnel 2,5 mmHg pada posisi netral, 31 mmHg pada fleksi pergelangan tangan dan 30 mmHg pada dorsofleksi/ekstensi pergelangan tangan.
Pada penderita CTS, rata-rata tekanan intra carpal tunnel 32 mmHg pada posisi netral, 99 mmHg pada fleksi 90° dan 110 mmHg pada ekstensi 90° pergelangan tangan.
Tekanan intra carpal tunnel 30 mmHg menimbulkan parestesi (baal) dan hambatan sensorik; pada tekanan 50-60 mmHg, fungsi motorik dan sensorik diblok
secara komplet; sensorik hilang dalam waktu 25-50 menit, motorik hilang 10-30 menit setelah sensorik hilang. Jika tekanan segera dihilangkan, pada banyak kasus, fungsi motorik dan sensorik kembali secara komplet dalam waktu 3-6 bulan.

Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis[10]
*              Flick’s sign
Penderita diminta untuk mengibas-ngibaskan tangannya atau menggerak-gerakkan jari-jarinya. Bial keluhan berkurang atau menghilang berarti, tanda ini dapat menunjang diagnosis CTS, namun harus diingat bahwa tanda ini dapat juga ditemukan dalam penyakit Raynaud.
*              Thenar wasting
Pada inspeksi atau palpasi dapat ditemukan atrofi otot-otot thenar.

*              Wrist extension test
Penderita melakukan ekstensi tangan secara maksimal, sebaiknya dilakukan serentak pada kedua tangan agar dapat dibandingkan. Tes positif apabila muncul gejala-gejala seperti gejala CTS.     
*              Tourniquet Test
Dilakukan pemasangan tourniquet dengan menggunakan tensimeter di atas siku dengan tekanan di atas tekanan sistolik. Setelah 60 detik, Tes tourniquet dikatakan positif apabila timbul rasa seperti ditusuk-tusuk jarum pada pergelangan tangan.
*              Luthy’s sign
Penderita diminta untuk melingkarkan ibu jari dan telunjuknya pada botol atau gelas. Bila kulit tangan tidak dapat menyentuh dindingnya dengan rapat berarti tes positif dan dapat menunjang diagnosis.
*              Pemeriksaan sensibilitas
Sensibilitas pada daerah jari I,II,III, dan sebagian IV dites dengan menusukkan jarum sambil meminta pasein untuk menutup matanya. Apabila pasien tidak merasakan sakit, maka tes positif.






HASIL ANALISIS DAN SINTESIS SEMUA INFORMASI

DD
Usia
Gejala dan Tanda
Riwayat trauma+infeksi
Daerah yang terserang
Ciri Khas
Carpal Tunnel Syndrome
30-60 tahun
nyeri (+)
kelemahan (+) kram malam hari (+)
+/-
Jari I,II,III, dan sebagaian jari IV pada bagian ventral
Uji Phalen (+)
Uji Tinel terowongan carpal (+)
Radial Nerve Entrapment
IRT
nyeri (+) kelemahan (+)
mati rasa
kram

+/-
Jari I,II,III, dan sebagaian jari IV pada bagian dorsal
Inspeksi dan  palpasi diperoleh kelemahan otot extensor
Tenosivitis de Quervain
30-50 tahun
nyeri (+) kelemahan (+) kram

+/-
Jari I dan pergelangan tangan
Uji Finklestein (+)
                        Jadi, berdasarkan hasil analisis dan sintesis semua informasi diagnosis yang paling mendekati untuk skenario  di atas adalah carpal tunnel syndrome




1.                  Kamus kedokteran Dorland (pp.1356,1951)
2.                  Cermin dunia kedokteran
3.                  Kapita selekta Ovedoff
4.                  Rheumatologi and Orthopedic (page 161-162)
5.                  Ilmu bedah ortopedi (285,287)
6.                  www.emedicine.com
8.                  http://www.wheelessonline.com/ortho/dequervains_disease
9.                  W., Luhulima J. 2004. Anatomi systema Musculoskeletal Jilid 4: Topografi. Makassar: Bagian Anatomi Fakultas Kedokteran Unhas
10.              Rambe, Aldy S., 2004, Sindrom Terowongan Karpal, Bagian Neurologi, Fakultas Kedokteran USU/RSUP.H. Adam Malik, http://library.usu.ac.id , tanggal
11.              Anonim, Sindrom Carpal Tunnel, http://cybermed.cbn.net.id, 12 Mei 2008
12.              Bahan kuliah dr. ruksal Enthesiopathy